cerita rakyat dalam bahasa batak
eufemismedalam bahasa Batak Toba belum pernah diteliti, khususnya eufemisme pada tuturan yang terdapat dalam cerita rakyatnya yaitu "Cerita Boru Saroding". Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai aspek eufemisme dalam bahasa Batak Toba. Masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimana
RITUALPARMALIM DALAM CERITA ASAL-USUL ETNIS BATAK: PENDEKATAN ANTROPOLOGI SASTRA . OLEH . SEVENRI HARIANJA . NIM 150701042 . Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah
Asalmula cerita SIGALEGALE dalam bahasa batak Adong ma nasaina 2 halak na marhaha maranggi. Goar ni Siahaan Datu Niantan; angginan di goar Datu Manggeleng. Rap tarbarita do nasida na dua ala ni hadatuonna be. Nungnga hot ripe datu Niantan, alai ianggo anggina i tung so olo do mambuat boru.
diungkapkandalam bahasa Batak Karo. Hal ini mengingat bahwa secara geografis bahasa Batak Karo masih dipergunakan sebagai sarana komunikasi oleh suku Batak Karo yang tinggal di daerah asal maupun perantauan. Menurut Danandjaja, (2002:66) Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai
Ikanterbesar berwarna kekuningan dan terlihat cantik berkat sisiknya yang berwarna emas. "ini akan yang aneh" gumam tiba di dalam pikirannya. Saat Toba membuka mulut ikan dan melepaskan kailnya, sebuah keajaiban pun terjadi. Ikan tersebut berubah wujud menjadi seorang perempuan yang memiliki paras cantik dan jelita.
Ou Rencontrer Des Gens A Montreal. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kurikulum Merdeka atau sering disebut Kurmer tidak lepas dari pembelajaran berdiferensiasi, karena sejatinya implementasi kurikulum merdeka adalah memberikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, memberikan keleluasaan pengelolaan pembelajaran sesuai dengan karakteristik murid. Terdapat tiga jenis bentuk pembelajaran berdiferensiasi di kelas, yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk. Modifikasi modul ajar dan penyediaan bahan ajar mutlak diperlukan untuk memenuhi diferensiasi konten. Kurikulum merdeka membebaskan Tujuan PembelajaranTPdan alur tujuan pembelajaranATP disesuaikan kerakteristik murid. Maka, guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu memilih bahan ajar sesuai dengan lingkungan bisa dipungkiri anak-anak sekarang lebih menyukai hal-hak bersifat global dan mulai melupakan sejarah lingkungannya sendiri termasuk cerita rakyat daerahnya. Anak-anak memang lebih kreatif dan lebih maju, namun kondisi psikisnya lambat laun lepas kendali. Mereka sering bersikap jauh dari nilai dan norma masyarakat di lingkungannya. Cerita rakyat daerah di manapun syarat akan nilai-nilai yang luhur perlu diadoptsi untuk pembelajaran. Di kabupaten Demak terdapat cerita rakyat Demak yang dapat dikembangkan menjadi bahan ajar dengan menjadi pengantar dalam materi pelajaran bahasa Indonesia. Langkah-langkah pengembangan Langkah pertama dalam pengembangan cerita rakyat Demak adalah mengumpulkan bahan cerita. Penulis menggunakan cerita rakyat Demak sesuai tempet mengajar. Bahan dapat ditemukan dalam buku-buku yang sudah beredar seperti Babad Demak dan lainnya, banyak juga ditemukan dalam pencarian melalui internet, namun lebih baik lagi menemukannya dari cerita langsung saksi hidup atau orang yang memiliki hubungan waris dan orang yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahan cerita sejarah Demak. Langkah berikutnya mencermati Tujuan Pembelajaran dan memilih cerita sesuai dengan materi yang dibutuhkan. Cerita rakyat menjadi pengantar setiap materi tersebut. Selanjutnya, disusun menjadi bahan ajar yang menarik untuk digunakan pada pembelajaran diferensiasi. Langkah PenerapanSebelum pembelaran guru memetakan dulu minat dan bakat murid dengan memberikan angket, berkonsultasi dengan orang tua, dan guru sebelumnya. Hasil dari pemetaan tersebut dijadikan acuan dalam membuat modul ajar dan penggunaan strategi pembelajaran. Pada pelaksaan pembelajaran di kegiatan inti pembelajaran guru mengelompokkan murid sesuai gaya belajarnya. Murid dengan gaya belajar visual atau anak-anak yang suka membaca diberikan berupa buku atau video, sedangkan kepada anak-anak dengan gaya belajar audiovisual dengan bentuk cerita langsung atau dengan bantuan audiovideo. Anak-anak dengan gaya belajar kinestetik diajak langsung ke lokasi-lokasi sejarah yan banyak terdapat di Demak seperti museum Demak, masjid Agung Demak, makam Kadilangu, Sendang Puro, dan masih banyak lainnya. Bisa juga dibebaskan untuk mencari sendiri di perpustakaan sekolah buku atau gambar yang diperlukannya. Guru memantau keaktifan murid dan memandu setiap langkah berdiferensiasi dengan bahan ajar cerita rakyat daerahDemak, membuat murid lebih tertarik dalam mempelajari dan memahami materi. Selain itu secara tidak sengaja mereka akan mengadopsi nilai-nilai luhur yang terdapat pada cerita rakyat tersebut. Lebih luas lagi dapat mewujudkan pelajar profil pancasila. Penulis yakin setiap daerah terdapat cerita rakyat dengan nilai-nilai luhur yang dapat diadopsi sebagai bahan pembelajaran. Selamat memandu Bapak Ibu guru. Lihat Pendidikan Selengkapnya
Home » Sudut Pandang » Cerita dari Batak Toba Gender, Perempuan, dan Budaya Patriarki Laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan gender, diantaranya sifat biologis, fisik dan psikis. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut sering melahirkan perdebatan apalagi di era saat ini. Perdebatan peran akhirnya memunculkan beberapa paham dan budaya, salah satunya budaya patriarki. Budaya ini berlaku pada suku Batak Toba. Perempuan Batak Toba mendapat diskriminasi gender dalam adat. Seorang istri harus selalu berada di bawah otoritas suami, serta saudara perempuan harus menghormati saudara laki-laki dan memiliki peran di bagian dapur sebagai parhobas pelayan dalam setiap acara kekeluargaan. Budaya patriarki adalah sistem yang memposisikan laki-laki sebagai pemilik otoritas dan kekuasaan dalam setiap aspek kehidupan. Perempuan dalam sistem ini tidak memiliki kebebasan dan selalu berada di bawah kuasa laki-laki. Di zaman prasejarah saat manusia masih belum mengenal tulisan, kedudukan perempuan dan laki-laki sama. Hal tersebut diperkuat oleh tulisan Simon de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, yang dikutip oleh Tobing 199991-92. Perempuan pada zaman itu memiliki peran penting seperti melahirkan, mengurus keluarga, dan menjahit pakaian bagi keluarganya. Sedangkan laki-laki bertugas mencari makan dan melindungi keluarga dari hal-hal di luar. Selain itu, pemegang otoritas dalam keluarga adalah perempuan. Namun peran tersebut dianggap sederajat, karena masing-masing memiliki keunggulan dalam aspek kehidupan. Setelah terjadi kemajuan zaman, pekerjaan perempuan tergantikan dengan adanya alat-alat yang bisa membantu. Majunya teknologi saat itu membuat laki-laki menjadi lebih dominan dan peran perempuan menurun. Banyak pekerjaan perempuan yang digantikan laki-laki dengan bantuan alat. Kesenggangan peran tersebut terus terjadi sampai lahirnya revolusi industri di Inggris, peran perempuan dalam membuat pakaian pun tergantikan oleh kemajuan teknologi saat itu. Derajat perempuan menjadi di bawah laki-laki, bahkan laki-laki dihormati seperti raja dalam keluarga Tobing 199991-92. Budaya tersebut berbalik setelah lahirnya revolusi industri di Inggris, saat itu alat-alat yang dapat membantu pekerjaan manusia bermunculan, sehingga pekerjaan perempuan banyak yang tergantikan dengan memanfaatkan alat-alat yang ada. Majunya industri saat itu berdampak pada peran laki-laki yang lebih menonjol dari pada perempuan. Sistem tersebut akhirnya terus berkembang dan diturunkan ke setiap generasi sebagai adat istiadat yang harus dilakukan. Di Indonesia sendiri budaya patriarki masih sangat kental meskipun sebelumnya sudah ada pelopor emansipasi wanita yakni Kartini, tapi tetap saja banyak yang memandang perempuan sebagai makhluk lemah yang hanya bisa dijadikan objek. Perempuan dianggap tidak layak memimpin dan tidak akan pernah bisa menyaingi laki-laki dalam berbagai aspek. Segala yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, dan politik adalah ranah laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh fokus pada ranah domestik. Budaya patriarki ini banyak terjadi di berbagai daerah, suku, bahkan bangsa. Bahkan dari banyaknya suku di Indonesia beberapa di antaranya juga masih menganut budaya patriarki. Salah satu suku yang terkenal dengan patriarkinya adalah suku Batak. Suku Batak cukup dikenal dengan suku yang masih memegang kuat adat istiadat dan budayanya. Ke mana pun dan di mana pun, suku Batak tetap kental dengan adatnya. Selain itu, suku Batak juga dikenal sebagai suku yang orang-orangnya banyak merantau ke hampir setiap daerah di Indonesia. Khususnya di pulau Jawa. Saat merantau pun orang-orang Batak di perantauan tidak melupakan dan tidak lepas dari adat istiadatnya. Bahkan mereka membuat kumpulan-kumpulan Batak berdasarkan marga atau tempat tinggal. Suku Batak sendiri terbagi berdasarkan wilayahnya, yaitu Batak bagian selatan, timur dan utara Danau Toba. Bagian selatan yaitu Batak Toba dan Angkola. Bagian timur Batak Simalungun, sedangkan bagian utara Batak Karo dan Batak Dairi atau biasa disebut Pak-pak. Suku Batak Toba adalah salah satu yang paling menonjol dan sering terdengar namanya. Budaya patriarki dalam suku Batak khususnya Batak Toba bisa dibilang masih melekat dan telah berkembang menjadi tradisi. Dalam suku Batak Toba terdapat sistem kekerabatan yang menampilkan budaya patriarki yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Indonesia berarti Tungku Nan Tiga. Tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu diantaranya – Manat Mardongan Tubu kerabat satu marga, artinya memelihara hubungan antar kerabat satu marga khususnya laki-laki. – Elek Marboru anak perempuan, artinya membujuk dan mengayomi saudara perempuan. – Somba Marhula-hula keluarga perempuan, saudara perempuan harus hormat kepada saudara laki-laki dan orang tua. Sistem kekerabatan tersebut masih sangat kental digunakan dan diterapkan suku Batak sebagai sikap dalam memperlakukan orang lain. Dua diantaranya dilakukan setelah ada pernikahan, yaitu Elek Marboru dan Somba Marhula-hula. Dua unsur tersebut merupakan cerminan patriarki antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam setiap acara adat biasanya saudara perempuan tidak begitu dipandang dan hanya sebagai tamu yang tidak banyak ikut andil dalam acara utama, tapi memegang peran di dapur atau sering disebut parhobas yang artinya pelayan. Sedangkan saudara laki-laki menjadi raja dan tokoh utama dalam acara adat. Itu harus dan mutlak. Dalam adat masyarakat Toba, perempuan dipandang sebagai anak yang berada di urutan kedua, sedangkan anak laki-laki di urutan pertama, bahkan dianggap raja. Anak laki-laki dalam suku Batak sangat diagungkan dan diharapkan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki peran besar dalam membawa dan meneruskan nama keluarga atau biasa disebut marga. Marga adalah identitas berharga dan penting dalam suku Batak. Sebagai tanda kekerabatan marga hanya diturunkan dari laki-laki. Anak perempuan dalam suku Batak Toba dianggap penting dalam hal menghasilkan penerus bagi marga para laki-laki. Bisa dikatakan dalam satu keluarga dipandang cacat jika tidak memiliki anak laki-laki, tapi tidak berpengaruh jika tidak memiliki anak perempuan. Untuk anak perempuan, marga hanya akan berhenti sampai mereka saja, bahkan setelah menikah mereka akan lebih dikenal lewat marga laki-laki atau suami. Setelah menikah, anak perempuan akan ikut sepenuhnya ke keluarga suami karena dia telah dibeli dengan sinamot, sehingga dia tidak begitu wajib dalam membantu mengurus orang tua, tapi wajib mengurus mertua. Patriarki antara suami dan istri di suku Batak Toba tidak jauh berbeda dengan suku dan daerah lainnya. Perempuan harus mengurus rumah dan keluarga, melayani suami dengan baik, patuh, dan hormat terhadap suami tanpa bantahan apapun. Laki-laki sebagai pemimpin yang memegang kendali dan aktif terjun ke publik. Saat ini, zaman semakin berkembang dan semakin banyak yang memperdebatkan bahkan menyatakan dengan terang-terangan kontra terhadap budaya patriarki. Perempuan pun sudah mulai muncul dan terlibat dalam hal-hal umum di masyarakat, begitupun perempuan Batak Toba. Bahkan dalam beberapa kejadian perempuan Batak sering dianggap lebih keras dan bijak daripada laki-laki, terutama dalam hubungan rumah tangga. Namun dalam adat istiadat terutama dalam sistem Dalihan Na Tolu, kedudukan perempuan masih belum mengalami perubahan atau mungkin tidak akan mengalami perubahan. Adat istiadat yang telah lama diturunkan dan sangat kental dalam suku Batak membuat budaya patriarki tersebut akan terus berlangsung. Pihak perempuan Batak pun sejauh ini masih menerima dan merasa layak diperlakukan seperti itu. Referensi Simanjuntak, R. S. R. 2021. Eksistensi Perempuan Batak Toba di Parlemen Kabupaten Samosir dalam Budaya Patriarki. Romaia, N. N. 2001. POSISI PEREMPUAN DALAM ADAT DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT BATAK TOBA Studi Deskriptif Tentang Subordinasi Perempuan Batak Toba di Yogyakarta Dilihat dari Sistem Ke. kerabatan Daliban Na Tolu Doctoral dissertation, UAJY.
cerita rakyat dari sumatera utara Berbicara tentang cerita rakyat, tidak akan terpisah dari mitos atau legenda terkait keberadaan suatu tempat atau kebudayaan. Cerita rakyat menjadi salah satu kekayaan akan keberagaman budaya serta cerita dari Indonesia. Setiap daerah memiliki cerita rakyat yang kisahnya cukup menarik dan memberikan nilai-nilai moral yang sarat akan makna. Sumatera Utara sebagai salah satu provinsi di pulau Sumatera, Indonesia, juga memiliki berbagai cerita rakyat menarik yang datang dari suku Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing dan berbagai etnis lainnya yang tinggal dan hidup di setiap kabupaten di provinsi tersebut. Legenda tersebut, ada yang mengkisahkan tentang terjadinya suatu obyek/tempat dan ada pula mengenai asal mula terbentuknya suatu marga. Masing-masing cerita itu tentu menyiratkan pesan moral, nasihat dan kebaikan bagi para pembaca. Untuk melestarikannya, tim berupaya untuk mengumpulkan cerita rakyat terbaik dari Sumatera Utara. 1. Terjadinya Danau Toba dan Pulau Samosir Cerita rakyat dari masyarakat suku Batak ini berkisah tentang keberadaan seorang pemuda bernama Toba yang kemudian menikah dengan seorang putri dari khayangan. Toba akhirnya memiliki anak dan diberi nama Samosir. Pada suatu ketika, Samosir diminta oleh ibunya untuk mengantarkan makanan kepada ayahnya di ladang. Di perjalanan, Samosir merasa lapar dan memakan titipan ibunya hingga habis dan tersisa tulang saja. Mengetahui hal tersebut, Toba marah dan memakinya anaknya dengan sebutan ikan. Ibunya yang melihat Samosir menangis akhirnya murka karena Toba melanggar perjanjian. Wanita tersebut kemudian memutuskan untuk kembali ke khayangan. Toba meminta maaf namun tak digubris sama sekali. Selepas kepergian wanita itu, tiba-tiba hujan turun begitu lebat sehingga terbentuklah danau terbesar di Asia Tenggara yang kelak diberi nama Danau Toba dengan sebuah pulau ditengahnya dan diberi nama Pulau Samosir. 2. Legenda Lubuk Emas dari Nias Alkisah di Teluk Dalam Nias Selatan seorang raja bernama Simangolong mempunyai seorang putri bernama Sri Padan. Ia bak gadis sempurna, diwariskan wajah rupawan, giat bekerja dan tak segan turun tangan membantu orang di sekitarnya. Keanggunan Sri Pandan tak hanya memikat pemuda Nias. Namun, tak sedikit keturunan raja terang-terangan menyatakan keinginan mereka untuk menikahi Sri Padan. Suatu ketika, Kerajaan Aceh menjatuhkan lamaran. Rasa bahagia menyelimuti Raja Simangolong. Ketika memberi tahu sang putri, Sri Pandan justru menangis tersedu-sedan. Dalam isaknya, Sri Pandan akhirnya jujur dan mengakui jika ia telah menjalin hubungan dengan Hobatan, pria yang selama ini merupakan pembantu Simangolong. Bulat sudah tekad Sri Pandan, ia mengajak Hobatan pergi meninggalkan kerajaan. Sayang, justru penolakan yang diberikan lelaki yang ia cintai itu. Sakit hati, ia pun berkemas sendiri dan meninggalkan kerajaan. Tujuannya satu, yaitu ke sebuah aliran sungai bernama Lubuk Asahan. Dengan lantang, Sri Pandan bersumpah jika tak akan ada lagi wanita cantik di Teluk Dalam, ia pun menerjunkan diri bersama emas dan pakaian yang ia kemas dari dari kerajaan. Hilangnya sang putri membuat gempar. Hobatan pun angkat suara dan menyebut jika Sri Pandan telah melarikan diri dan terjun ke sungai yang kini diberi nama Lubuk Emas. 3. Cerita Terjadinya Lau Kawar Lau Kawar merupakan danau di kaki Gunung Sinabung. Di balik keindahannya, terdapat asal mula terjadinya Danau Lau Kawar yang tak banyak orang ketahui. Berikut ceritanya Lembah hijau dan subur di sudut Naman Teran menjadi tempat tinggal bagi Kawar. Di sana, ia tinggal bersama istri, anak dan juga ibu kandungnya. Semula, tak ada yang berbeda dengan keluarga itu, hingga terjadilah murka dari si ibu. Hal itu bermula ketika Kawar dan keluarganya akan menanami padi di ladang. Si ibu yang renta dan sudah tua tak bisa ikut. Menjelang siang, Kawar pun menyuruh anaknya untuk mengantarkan makanan kepada sang nenek. Sayang, cucu dari ibu Kawar malah menghabiskan makanan itu di jalan hingga menyisakan tulang. Si cucu pun memberikan makanan itu kepada sang nenek. Alangkah terkejutnya ia tatkala membuka pemberian sang cucu, hanya ada tulang sisa makanan. Merasa anaknya telah durhaka, nenek tersebut pun bersumpah, tanah di sekitar desa itu pun terangkat dan menenggelamkan seisi kampung. 4. Cerita Nantampuk Emmas Cerita rakyat dari Pakpak Dairi ini juga memiliki nilai moral yang bagus. Agar para pembaca menghindari sikap tidak menghargai, berdusta dan mau menang sendiri. Nah berikut cerita tentang Nantampuk Emmas dan Batu Kerbo. Nantampuk Mas adalah seorang gadis menawan keturunan marga Angkat. Pesonanya yang begitu memikat membuat pemuda marga Saraan terpikat. Usai proses lamaran adat, terbersitlah salah satu syarat ganjil dari keluarga Angkat dimana keluarga Saraan tidak boleh membiarkan Nantampuk Mas berjalan kaki menuju rumah mertuanya. Syarat itu pun dipenuhi, Nantampuk Mas ditandu oleh keluarga mempelai tanpa rasa curiga. Hari berganti minggu, Nantampuk Mas tak kunjung keluar dari bilik. Rasa penasaran yang menyergap membuat keluarga Saraan memutuskan untuk melihat kondisinya. Terkejutlah mereka usai mengetahui jika perempuan itu tak bisa berjalan. Meski demikian, marga Saraan tetap pada pendirian dan memperistri putri Angkat itu. Lain pula dengan keluarganya yang tak terima dan menganggap jika ia hanyalah beban baru di tengah keluarga. Merasa tak tahan, Nantampuk Mas pun melarikan diri ke lebbuh kampung. Singkat cerita, marga Angkat meminta Saraan menyediakan 7 kerbau sebagai ucapan maaf karena telah mempermalukan mereka. Tetapi, permintaan itu tak kunjung dipenuhi hingga suatu ketika, marga Angkat hendak mengadakan suatu pesta besar. Sempat terjadi cekcok lantaran Saraan menganggap 7 kerbau itu sudah impas karena Nantampuk Mas sudah diterima kembali oleh keluarga Saraan. Tetapi karena takut, mereka akhirnya tetap memberikan 1 kerbau. Keanehan mulai terjadi disaat kerbau itu dibawa, seketika terjadi guntur dan membuat kerbau itu berubah menjadi batu. Sayup-sayup, terdengar suara empung nenek moyang, mahluk tak kasat yang mengatakan kalau kerbau itu adalah simbol perdamaian karena pertikaian kedua keluarga tersebut. 5. Anehnya Batu yang Menggantung Obyek wisata di Parapat yang satu ini cukup fenomenal dimana jika Anda akan menelusuri panorama Danau Toba maka akan melihat sebuah batu menggantung di tepian kota Parapat dengan bentuk menyerupai manusia. Tak jauh berbeda dengan Lubuk Mas, cerita ini pun alurnya hampir sama persis tetang perjodohan sepihak. Selengkapnya, silahkan baca pada artikel tersendiri yang sudah buat secara khusus Legenda Terjadinya Batu Gantung 6. Cerita Rakyat dari Humbang Hasundutan Dikenal juga dengan sebutan Humbahas, tanah Batak ini pun memiliki banyak legenda. Salah satunya berisikan tentang awal mula terbentuknya 2 buah danau yang berasal dari pertikaian antara sesama keluarga. Pesan moralnya cukup bagus, mengajak setiap orang yang mendengar kisah tersebut tak mempertahankan ego dan menahan sikap rakus serta keinginan pribadi secara berlebihan. Detailnya, dapat dilihat pada postingan berikut Cerita Tao Silosung dan Si Pinggan 7. Kisah Sigale-gale yang Mengharukan Gerak tarian Sigale-gale bisa saja membuat penonton tertawa. Bagaimana tidak, atraksi wisata dimana patung menari terlihat menggemaskan dan lucu. Padahal, ada cerita rakyat dari Samosir yang mengiringi munculnya patung Sigale-gale. Konon, seorang raja yang masih merasa sangat kehilangan putranya meminta pandai pahat untuk membuatkan patung persis seperti anaknya, Manggalae. Agar dapat bergerak layaknya manusia, maka dimintalah Sibaso memberikan kehidupan bagi patung itu. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga bertahun-tahun, setiap kali ada anggota keluarga harajaon yang pergi. Maka dibuatlah Sigale-Gale, si patung 'lemah gemulai' yang bisa menari. Ada banyak legenda yang sarat akan nilai-nilai kehidupan namun tentu saja kisah-kisah tersebut akan jauh lebih baik bila terus menerus diceritakan kepada anak cucu kita kelak sehingga dapat dilestarikan dan tidak hilang di telan zaman.
Herman Neubronner van der Tuuk, penerjemah Injil dalam bahasa Batak. Foto KITLV. Tanah Batak pernah kedatangan tamu asing. Matanya sipit dan berkulit kuning. Orang Batak setempat menyebutnya dengan panggilan “Si Pandortuk”. Tapi siapa nyana, pendatang asing itu ternyata memiliki darah Belanda. Nama lengkapnya Herman Neubronner van der Tuuk. Bermodal pengetahuan bahasa Batak pesisir dan disertai seorang pedagang Melayu, van der Tuuk tiba di Lembah Bakara pada Februari 1853. Van der Tuuk jadi orang Eropa pertama yang menyaksikan keberadaan Danau Toba –tempat yang bagi pendatang asing saat itu tidak lebih dari kabar burung. Sebelum van der Tuuk, orang Batak Toba gigih merahasiakan petunjuk arah ke Danau Toba. “Mereka menganggap itu sebagai tempat tinggal para dewa dan kekuatan yang mengendalikan dunia,” tulis van der Tuuk dalam suratnya suratnya tanggal 23 Juli 1853 kepada Profesor Jan van Gilse, sekretaris Lembaga Alkitab Belanda dikutip Beekman dalam Fugitive Dreams An Anthology of Dutch Colonial Literature. Selain melihat Danau Toba dan rumah-rumah Bolon yang megah bak istana, van der Tuuk mendapati apa yang dicarinya. Dia bercengkerama dengan para datu dukun adat yang menyalin tulisan kitab kulit kayu yang disebut pustaha. Gambaran peradaban Batak diperolehnya melalui pustaha sejarah penciptaan, cerita rakyat, pranata sosial, hingga mantra-mantra. Pengalamannya memasuki jantung Tanah Batak yang keramat itu meneguhkan niatan van der Tuuk untuk melanjutkan tugas mulia yang sempat tertunda. Mata van der Tuuk kian tercelik untuk menerjemahkan Injil, bagian dari kitab suci agama Kristen. Bagi penganut Kristen, Injil adalah kabar keselamatan yang memberitakan penebusan umat manusia dari dosa oleh Yesus Kristus. “Sekarang aku yakin untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak Toba,” kata van der Tuuk di bagian akhir suratnya kepada van Gilse. Pekerjaan yang semula dibencinya. Menjadi Penerjemah Injil Van der Tuuk lahir di Malaka pada 24 Oktober 1824 ketika wilayah itu dikuasai Belanda. Ayahnya, Selfridus van der Tuuk, seorang Belanda totok. Sedangkan ibunya, Loisa Neubronner, keturunan Eurasia berdarah Melayu. Setelah Malaka ditukar dengan Bengkulu lewat Traktat London, van der Tuuk menghabiskan masa kecilnya di Surabaya. Pada usia 15 tahun, van der Tuuk menamatkan sekolah formalnya. Dia diterima di jurusan hukum Universitas Groningen sesuai keinginan ayahnya. Namun di tengah jalan dia lebih tertarik mendalami studi linguistik. Sejak 1845, van der Tuuk mempelajari bahasa-bahasa Timur seperti Ibrani, Arab, dan Sansekerta di Universitas Leiden. Setahun kemudian, publikasi perdananya diterbitkan. Kemampuan van der Tuuk menguasai bahasa tidak terlepas dari daya ingatnya yang luar biasa. “Dia mempunyai fotografi memori,” tulis Beekman. Bakat van der Tuuk menarik Nederlands Bijbelgenootschap NBG/Lembaga Alkitab Belanda untuk mempekerjakannya. Saat itu, NBG membutuhkan beberapa ahli bahasa untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Makassar, Batak, Dayak, dan Bugis. Atas rekomendasi dosennya di Leiden, van der Tuuk menjadi utusan NBG untuk meneliti bahasa Batak. Pada 8 Desember 1847, van der Tuuk menandatangani kontrak dengan NBG. Dia ditugaskan membuat kamus bahasa Batak beserta tata bahasanya. Selanjutnya, dia diharuskan menerjemahkan kitab Injil Perjanjian Baru ke dalam dialek bahasa Batak. “Van der Tuuk tidak pernah menyenangi instruksi kedua penugasannya. Sikapnya terhadap agama Kristen tidak begitu positif dan selama hidupnya kemudian antipatinya menjadi lebih kuat,” tulis Andries Teeuw, linguis dan kritikus sastra Indonesia terkemuka, dalam pengantar buku van der Tuuk A Grammar of Batak Toba, cetakan 1971. Toh, van der Tuuk tetap menerima tawaran itu dengan pertimbangan pragmatis. Bekerja di Hindia Belanda memberinya kesempatan untuk mengunjungi keluarganya. Lagi pula, NBG membayarnya sebesar gulden setahun untuk pekerjaan yang dia senangi. Honor yang cukup besar pada zaman itu. Di Tanah Batak Setibanya di Sumatra pada 1851, van der Tuuk ditempatkan di Barus. Demi pengumpulan bahan penelitian, dia melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaan rakyat lokal. Dengan berjalan kaki, van der Tuuk melintasi seluruh kawasan Tanah Batak. Si Pandortuk atau Raja Tuk –demikian orang-orang Batak memanggilnya– menerima siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Pergaulan yang akrab dengan orang Batak menyebabkan van der Tuuk menentang penggunaan bahasa Melayu. Laporannya kepada NBG disertai kritik mengenai sikap pejabat Belanda yang tidak mengetahui bahasa Batak dan watak rakyatnya. “Bila pemerintah ingin memajukan orang-orang pribumi maka para pejabat hendaklah menyapa hati mereka dan itu tidak akan terjadi selagi mereka masih mempergunakan bahasa Melayu pasar. Kita terlalu sombong untuk bergaul dengan orang pribumi secara erat dan memahirkan bahasanya kita anggap barang sepele saja. Perkawinan kita dengan untung laba telah mencekik setiap perhatian untuk orang pribumi,” tulis van der Tuuk kepada NGB dikutip Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Van der Tuuk pula yang mendesak agar misi zending segera mengutus penginjilnya ke Tapanuli. Dia juga menganjurkan agar para penginjil itu setibanya di Tapanuli mengawini gadis-gadis Batak dan memelihara babi untuk membendung pengaruh Islam dari arah selatan. Desakan ini dilatari rasa frustrasinya menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Dalam suratnya kepada NBG, 27 Maret 1854, van der Tuuk menyebut kesulitan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak karena tidak ada kata yang dapat ditemukan dalam bahasa ini, misalnya untuk menjelaskan kata surga, neraka, dan keabadian. “Saya merasa bahwa suatu terjemahan Alkitab yang sesungguhnya baru membuahkan hasil setelah ada pengaruh dari para zendeling,” tulis van der Tuuk, dikutip Kees Groeneboer, “Dari Radja Toek sampai Goesti Dertik” termuat dalam Jurnal Humaniora Vol. 14, No. 2, 2002. Pada April 1857, van der Tuuk memutuskan ambil cuti ke Belanda. Dia membawa 152 pustaha dan 29 manuskrip bahasa untuk diolah. Di masa ini, dia menerbitkan karya literaturnya tentang linguistik Batak Bataksch-Nederduitsch Woordenboek Kamus Batak-Belanda, 1861 dan Tobasche Spraakkunst Tata Bahasa Toba, 1864. Dia juga menjadi linguis pertama yang merancang aksara Batak. Dalam Bataksch Leesboek Buku Bacaan Batak, 1860, dia membaginya ke dalam tiga set berdasarkan sub-etnis Angkola-Madailing, Toba, dan Pakpak. Selain itu, beberapa kitab Injil berhasil diterjemahkannya, yaitu Kejadian, Keluaran, Yohanes, dan Lukas. Menurut Uli Kozok, filolog Universitas Hawaii, tata bahasa Batak Toba karya van der Tuuk merupakan gramatika pertama mengenai salah satu bahasa lokal di Hindia Belanda yang disusun secara ilmiah. “Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa mengingat bahwa zaman van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah Batak masih merupakan terra in cognita tanah yang tidak diketahui di peta ilmiah,” tulis Kozok dalam Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak. Pada 1861, seorang pendeta muda bernama Ludwig Inger Nommensen mengunjungi van der Tuuk di Amsterdam. Sang pendeta muda mau belajar bahasa dan budaya Batak. Nommensen kelak dikenal sebagai misionaris paling berhasil di Tanah Batak. Namun dibalik itu, ada sosok van der Tuuk, linguis telaten yang kendati mengaku ateis, telah membuka pintu bagi penyebaran agama Kristen di Tanah Batak.
Wajah Sigale-gale. Sumber Wiki. Rupanya menyerupai manusia. Pada tubuh yang mematung itu dipakaikan busana orang dewasa sementara bahunya diselempangkan kain ulos. Matanya memancarkan tatapan kosong. Namun, ketika alunan musik gondang berdentang, tubuhnya bergerak bak penari tortor yang piawai. Siapa saja yang melihatnya niscaya akan turut terbuai lantas ikut menari. Begitulah sosok Sigale-gale, boneka kayu yang berada di Desa Tomok, Pulau Samosir, Sumatra Utara. Namun, Anda tidak perlu takut terhadap Sigale-gale. Di belakang podium tempat Sigale-gale berdiri, ada seorang dalang yang mengendalikan gerakan Sigale-gale. Tarikan benang dalang yang tersembunyi itulah yang membuat Sigale-gale seolah menari sendiri. Sigale-gale sendiri dalam bahasa Batak Toba berarti lemah gemulai. Legenda tentang Sigale-gale menurut perkiraan masyarakat Batak, seperti diteliti M. Saleh dalam Seni Patung Batak dan Nias, menyatakan bahwa kehadirannya bersamaan dengan seni topeng yang terdapat di daerah itu. Oleh karenanya, legenda Sigale-gale tidak ditemukan dalam hikayat-hikayat lama suku Batak Toba atupun pustaha Batak. Dari cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, legenda Sigale-gale mengakar bersama masyarakat Batak sebagai kearifan lokal. Dikisahkan, Sigale-gale bernama asli Manggale, putra tunggal dari seorang raja. Suatu ketika, Manggale gugur ketika bertempur melawan kerajaan seberang. Kematian Manggale menyebabkan dukacita mendalam bagi sang raja. Untuk menghidupkan kembali Manggale, seorang datu menyarankan raja untuk membuat patung yang menyerupai Manggale. Para pemahat terbaik di seantero kerajaan pun dikerahkan. Dengan kekuatan mantra para datu, patung Manggale itu bisa bergerak dan menari. Sang raja pun bungah kembali. Seluruh kerajaan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam menari bersama patung Manggale. Demikianlah legenda populer yang dituturkan pemandu wisata setempat bila kita berkunjung ke sana. Patung Sengketa Versi lain tentang kemunculan Sigale-gale sarat dengan nilai adat dan tradisi Batak yang menjunjung betapa pentingnya keturunan. Tersebutlah seorang ahli patung tersohor bernama Datu Panggana. Suatu ketika, Datu Panggana berhasil membuat patung berwujud seorang anak gadis dari kayu yang dipahatnya di hutan. Saat Datu Panggana terkagum-kagum menyaksikan hasil karyanya itu, datanglah pedagang bernama Bao Partiga-tiga melintasi hutan. Bao Partiga-tiga ternyata kagum dengan patung buatan Datu Panggana. Atas izin Datu Panggana, Bao Partigatiga mendandani patung itu dengan pakaian dan perhiasan dagangannya. Hari menjelang petang. Bao Partiga-tiga berusaha menanggalkan perhiasan dan pakaian yang melekat pada tubuh patung. Usahanya kandas, pakaian dan perhiasan tidak dapat lepas. Bao Partiga-tiga lantas pulang ke kampungnya dengan hati yang tidak ikhlas. Begitupun dengan Datu Panggana yang terpaksa meninggalkan hutan. Dalam benaknya, patung itu akan digotong keesokan hari dengan bantuan orang-orang sekampungnya. Namun, sebelum Datu Panggana tiba, pada pagi hari lewatlah seorang dukun tua bernama Datu Partaoar. Membuat Patung Sigale-Gale, sekira tahun 1937-1941. Foto KITLV Seperti Bao Partigatiga, Datu Partoar juga takjub dengan patung yang dilihatnya. Timbul niatan hatinya untuk menghidupkan patung tersebut. Dengan ramuan sakti sambil merapal mantra, Datu Partaoar membuat patung itu bergerak dan berlaku seperti manusia. Bukan main girangnya hati Datu Partaoar apalagi kerinduannya memiliki anak boru putri telah terpenuhi. Setibanya Datu Partaoar di rumah, kebahagiaan yang sama dirasakan sang istri pula. Pasangan suami-istri itu sepakat memberi nama si patung Nai Manggale. Pada hari pasar dibuka, Nai Manggale diperkenalkan sebagai putri angkat Datu Partaoar. Setiap pasang mata terpana menyaksikan kecantikan Nai Partaoar yang pandai menari. Berita tentang Nai Manggale tersiar kemana-mana, termasuk Datu Panggana dan Bao Partigatiga. Baik Datu Panggana, Bao Partiga, dan Datu Partaoar bersikukuh merasa memiliki Nai Manggale sebagai anak mereka. Ketiganya pun mengadukan permasalahan ini kepada raja. Namun, raja tidak kuasa memecahkan konflik kepemilikan tersebut. Raja menyarankan agar mereka mendatangi Aji Bahir-Bahir, sesepuh yang disegani karena kecerdasannya. Setelah mengamati duduk perkara dengan seksama, Aji Bahir-Bahir memutuskan bahwa ketiganya memang layak menjadi keluarga Nai Manggale. Datu Partaoar menjadi ayahnya, Bao Partiga-tiga menjadi iboto abang, dan Datu Panggana menjadi tulang paman. Status kekerabatan tersebut akhirnya diteima dengan lapang dada oleh semua pihak yang bertikai. Dengan demikian, ketika Nai Manggale kemudian dipersunting oleh Datu Partiktik, Bao Partigatiga dan Datu Panggana berhak mendapat bagian atas sinamot uang mahar pernikahan. Tahun-tahun berlalu. Nai Manggale dan Datu Partitktik hidup berumahtangga tanpa dikaruniai seorang anak. Kesepian membuat Nai Manggale jatuh sakit. Sebelum meninggal, Nai Manggale berwasiat agar pamannya Datu Panggana membuatkan patung anak laki-laki yang mirip dengan Nai Manggale. Lagi, Nai Manggale berpesan, hendaknya patung itu diberi nama Sigale-gale. “Dan sejak itulah, patung Sigale-gale sebuah patung kematian. Patung yang senantiasa dibuat bila seorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan,” tulis Rayani Sriwidodo dalam Si Gale-Gale. Pertunjukan Sigale-gale tahun 1971. Foto Tropen Museum. Pagelaran upacara Sigale-gale selalu diiringi dengan musik gondang dan tari tor-tor. Upacara seperti itu, menurut Kamus Budaya Batak Toba yang disusun Marbun dan Hutapea, dinamai upacara papurpur sapata. Seperti halnya ritual tolak bala, upacara ini bertujuan agar keluarga atau kerabat yang ditinggalkan hendaknya selalu memperoleh keturunan, bukan seperti orang yang meninggal tersebut. Dari Ritus ke Pertunjukan Boneka Sigale-gale ada kalanya dibuat tanpa kepala. Kemudian, pada bagian kepala itu, ditempatkan tengkorak orang yang meninggal. Muka patung diwarnai dengan kuning telur sedangkan matanya terbuat dari buah-buahan merah atau besi berbentuk mata. Raga patung dikenakan pakaian yang bagus dan berharga. Sementara itu, rambutnya terbuat dari rambut kuda, lengkap dengan ikat kepala. Kepercayaan Batak kuno, terutama di sekitar Danau Toba meyakini, meyakini roh seseorang dapat menitis ke dalam patung ini. Pada masa lampau, perhelatan ritual Sigale-gale digelar bagai pesta rakyat yang megah. Biaya yang dikeluarkan terbilang besar. Penyelenggaranya, kata Dada Meuraxa dalam Sejarah Kebudayaan Suku-Suku di Sumatera Utara, harus sanggup menjamin para keluarga dan undangan yang datang dari berbagai kampung. Menurut kebiasaan di Toba, jika seorang meninggal tanpa keturunan lelaki harus diselenggarakan pesta kematian yang besar. Pada kesempatan itulah diadakan tarian boneka Sigale-gale yang merupakan perwakilan dari orang yang meninggal. “Tujuannya sekadar meringankan kehidupannya yang malang di alam baka,” kata Vergouwen dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Vergouwen merupakan ahli hukum adat kebangsaan Belanda yang pernah bertugas di Tapanuli pada 1927-1930 Namun, semenjak masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, upacara Sigale-gale tidak lagi menjadi ritus yang dikultuskan. Kendati demikian, boneka Sigale-gale tidak lantas lenyap. Kini, ia hanya menjadi sekedar pertunjukan hiburan yang mencerminkan budaya masyarakat Batak.
cerita rakyat dalam bahasa batak